Sabtu, 28 September 2019

Analisis Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Sepotong Hati yang Baru "Kisah Si-Sie" karya Tere Liye

               



1.     Sinopsis
Kisah Sie-Sie
(Tere Liye)

Keluarga Han tinggal di pinggiran Singkawang, Kalimantan Barat. Han mempunyai satu istri dan tujuh anak. Sie Sie adalah anak tertua. Usianya enam belas tahun. Han bekerja sebagai kuli kasar di pabrik tahu. Istrinya ibu rumah tangga dan bekerja sebagai pembantu setengah hari di rumah orang kaya. Ekonomi keluarga Han sangat menyedihkan. Apalagi saat Han dipecat dari pabrik tahu, ketahuan mencuri brankas uang. Tidak tahan dengan kesulitan yang ada, Han mengambil jalan pintas. Saat itu juga Han masuk penjara. Ibu Sie Sie yang sakit-sakitan berhenti dari pekerjaannya. Lengkaplah sudah. Separuh penghasilan hilang. Sampai-sampai anak pertamanya yang bernama Sie Sie rela menjadi amoi demi menghidupi keluarganya. Kasihan sekali Sie Sie, di usianya yang masih enam belas tahun dia harus bekerja keras demi adik-adiknya dan biaya berobat ibunya.
Sejak keadaan itulah Sie Sie memutuskan untuk menjadi Amoi. Ia bersedia menjadi istri beli-an. Berangkatlah Sie Sie ke sebuah hotel, tempat pemuda dari Taiwan mencari istri. Nama pemuda Taiwan itu Wong Lan. Wong Lan berasal dari keluarga kaya raya. Usianya menginjak kepala tiga. Sengaja datang ke Singkawang dengan tujuan mencari istri bayaran untuk dijadikan tembusan wasiat orang tua Wong Lan. Sebelum meninggal, orang tua Wong Lan menuliskan wasiat bahwa harta warisan akan diberika kepada Wong Lan jika dia sudah mempunyai istri. Sie Sie meninggalkan keluarganya di Sangkawang dan dibawa Wong Lan ke Taiwan. Wasiat sudah di tang Wong Lan. Rumah mewah, pabrik tekstil warisan orang tuanya kini ada di tangan Wong Lan. Namun, di Taiwan Sie Sie mendapatkan perlakuan yang tak mengenakkan dari Wong Lan. Sie Sie justru terlihat sebagai pembantu, bukan istri dari Wong Lan. Sie Sie berjanji pada ibunya akan mencintai Wong Lan apa adanya meskipun dia adalah istri bayaran. Sie Sie mengandung anak Wong Lan. Sedihnya, Wong Lan tak mau tahu soal keadan Sie Sie. Kerjaannya hanya berfoya-foya, menghabiskan harta warisan orang tuanya. Sie Sie diusir dari rumah Wong Lan saat mempunyai anak keempat dari Wong Lan. Saat itu, ekonomi Taiwan mengalami kemunduran. Apalagi Wong Lan tak becus mengurus pabriknya. Habislah sudah harta warisan yang dimiliki Wong Lan. Perlakuan Wong Lan kepada Sie Sie tak pernah ia ambil hati. Sie sie tetap mencintai Wong Lan apa adanya.
Itulah cinta sederhana amoi Singkawang. Sejak kawin foto merebak di Singkawang, salah satu kota di Kalimantan Barat, beberapa jam dari Pontianak, dari tahun 1960-an hingga sekarang, boleh jadi sudah dari 30.000 gadis kota itu yang menikah dengan warga asing. Ada banyak cerita menyedihkan memang. Apalah yang diharapkan dari sebuah pernikahan bohong-bohongan demi uang? Menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Tersakiti fisik dan perasaan seolah-olah lebih baik dibandingkan yang akhirnya malah bekerja jadi wanita malam (Tere Liye, 2012: 40).
Karya: Anonim

2.     Struktur
a.        Abstrak
Keluarga Han tinggal di pinggiran Singkawang, Kalimantan Barat. Han mempunyai satu istri dan tujuh anak. Sie Sie adalah anak tertua. Usianya enam belas tahun. Han bekerja sebagai kuli kasar di pabrik tahu. Istrinya ibu rumah tangga dan bekerja sebagai pembantu setengah hari di rumah orang kaya.
b.       Orientasi
Ekonomi keluarga Han sangat menyedihkan. Apalagi saat Han dipecat dari pabrik tahu, ketahuan mencuri brankas uang. Tidak tahan dengan kesulitan yang ada, Han mengambil jalan pintas. Saat itu juga Han masuk penjara. Ibu Sie Sie yang sakit-sakitan berhenti dari pekerjaannya. Lengkaplah sudah. Separuh penghasilan hilang. Sampai-sampai anak pertamanya yang bernama Sie Sie rela menjadi amoi demi menghidupi keluarganya.
c.        Komplikasi
Berangkatlah Sie Sie ke sebuah hotel, tempat pemuda dari Taiwan mencari istri. Nama pemuda Taiwan itu Wong Lan. Wong Lan berasal dari keluarga kaya raya. Usianya menginjak kepala tiga. Sengaja datang ke Singkawang dengan tujuan mencari istri bayaran untuk dijadikan tembusan wasiat orang tua Wong Lan.
d.       Klimaks
Namun, di Taiwan Sie Sie mendapatkan perlakuan yang tak mengenakkan dari Wong Lan. Sie Sie justru terlihat sebagai pembantu, bukan istri dari Wong Lan. Sie Sie berjanji pada ibunya akan mencintai Wong Lan apa adanya meskipun dia adalah istri bayaran. Sie Sie mengandung anak Wong Lan. Sedihnya, Wong Lan tak mau tahu soal keadan Sie Sie. Kerjaannya hanya berfoya-foya, menghabiskan harta warisan orang tuanya. Sie Sie diusir dari rumah Wong Lan saat mempunyai anak keempat dari Wong Lan.
e.        Resolusi
Habislah sudah harta warisan yang dimiliki Wong Lan. Perlakuan Wong Lan kepada Sie Sie tak pernah ia ambil hati. Sie sie tetap mencintai Wong Lan apa adanya.
3.     Kebahasaan
Bahasa yang digunakan tergolong dalam Bahasa Melayu. Pengarang ini menggunakan bahasa yang sulit dipahami pembaca yang belum tanggap dengan bahasa novel si pengarang. Si pengarang juga tidak menggunakan satu pun majas atau yang mestinya ada dalam novel.
4.     Unsur Intrinsik
a.        Tema
Kasih sayang dan cinta tulus seorang istri kepada suaminya.
Bukti: “Maka bulan-bulan perawatan itu menjadi simbol paling agung rasa cinta Sie. Tidak ada kebencian, tidak ada penyesalan. Astaga, seandainya kita bisa melihat wajah Sie saat merawat suaminya. Janji itu sungguh luar-biasa.” (Hal. 33)
b.       Alur/plot
Maju: menceritakan urut kejadian dari masa sekarang hingga masa berikutnya.
Bukti: “Wong Lan membawa Sie Sie ke Taiwan esok paginya, lebih cepat lebih baik.” (Hal. 26)
c.        Penokohan
Ø Wong Lan
1. Suka berjudi. “Kebiasaan judinya datang tak tertahankan, satu persatu perabotan digadaikan.” (Hal.30)
2. Suka menyiksa. “Usia gadis itu dua puluh ketika masa-masa siksaan fisik datang. Pagi ditampar, siang dijambak, malam ditendang.” (Hal. 29)
3. Tidak menghargai istrinya. “Wong Lan tidak peduli perut istrinya semakin membesar, tidak peduli wajah berseri-seri istrinya, yang tetap sungguh-sungguh melayani dan berusaha membatalkan seluruh proses pengadilan.” (Hal. 30)
4. Mencintai istrinya. “Malam-malam rehabilitasi itu menjadi saksi saat cinta Wong Lan tumbuh mekar, cinta seorang pemuda Taiwan yang terlambat lima belas tahun.” (Hal. 34)
Ø Sie-Sie
1. Penurut. “...melayani suami sebaik mungkin, menyiapkan baju, memasangkan dasi, menyemir sepatu, berlarian membawa tas kerja, menyiapkan makanan, merapikan tempat tidur.” (Hal. 28)
2. Baik. “Hampir enam bulan dia masuk penjara, lihatlah, tidak seharipun Sie alpa mengunjunginya, membawakan rantang makanan kesukaan, memasang wajah riang bertanya apa kabar.” (Hal. 29)
3. Tulus mencintai suaminya. “Tidak ada kebencian, tidak ada penyesalan. Astaga, seandainya kita bisa melihat wajah Sie saat merawat suaminya.” (Hal. 33)
4. Memegang janji. “Astaga, seandainya kita bisa melihat wajah Sie saat merawat suaminya. Janji itu sungguh luar-biasa.” (Hal. 33)
5. Setia. “...Sie menghabiskan malam untuk mencari suaminya.” (Hal. 31)
6. Pekerja keras. “Setelah bertahun-tahun berusaha, keahliannya menjahit pelan-pelan dikenal banyak orang. Bisnisnya mulai berkembang.” (Hal. 31)
Ø Ibu Sie-Sie
1. Pekerja keras. “...ibu rumah tangga yang repot mengurus anak-anak sekaligus repot bekerja sebagai babu separuh hari di rumah orang kaya.” (Hal. 21)
Ø Bapak Sie-Sie
1. Pencuri. “Bapak mereka dipecat dari pabrik tahu, ketahuan mencuri brankas uang—tidak tahan dengan kesulitan yang ada, Bapak mereka mengambil jalan pintas.” (Hal. 22)
d.       Setting/latar
a.        Waktu
1.        Malam hari
Ø “Malam itu, Ibu Sie jatuh pingsan, tubuh membiru, dengus nafas mulai habis.” (Hal. 22)
Ø “Kalian bayangkan, ruangan gawat darurat, pukul sepuluh malam, hanya ada Sie dan Ibunya yang terbaring lemah di ranjang.” (Hal. 25)
2.        Pagi hari
Ø “Bangun pagi hanya untuk menjemput hari menyedihkan berikutnya.” (Hal. 29)
Ø “Wong Lan membawa Sie Sie ke Taiwan esok paginya, lebih cepat lebih baik.” (Hal. 26)
b.       Tempat
1.        Rumah Sakit
Ø  Menjelang malam karyawan hotel itu datang ke rumah sakit, mengabarkan semua beres, semua siap.” (Hal. 25)
Ø  “Tapi suaminya menunggu di Hongkong, dirawat di salah-satu rumah sakit.” (Hal. 32)
2.        Singkawang
Ø Keluarga Han tinggal di pinggiran Singkawang, daerah kumuh, tidak sedap dilihat, tidak enak dicium.” (Hal. 21)
Ø “...Sie Sie mendengar kabar ada pemuda Taiwan yang datang ke Singkawang mencari istri.” (Hal. 22)
3.        Rumah Wong Lan
Ø Wong Lan juga belum menyakiti Sie secara fisik, orang-orang di rumah meski tidak respek, tidak berani menunjukkan rasa benci secara terbuka.” (Hal. 28)
4.        Hotel
Ø Sudah ada lima amoy pendaftar di lorong hotel, berbisik-bisik.” (Hal. 22)
c.        Suasana
1.     Mengharukan. “Janji itu sungguh luar-biasa.” Pak Tua menyeka ujung mata, sedikit terharu. (Hal. 33)
2.   Romantis. “Di malam kesekian masa-masa rehabilitasi, ketika Wong Lan terjaga, saat dia menatap wajah lelah istrinya yang jatuh tertidur di pinggir ranjang, perasaan itu mulai tumbuh kecambahnya.” (Hal. 33)
3.      Menyedihkan. “Tapi saat dia menuju bandara, melesat kabar duka dari Singkawang, telepon dari salah-satu adiknya, bilang Bapak Sie Sie meninggal dunia.” (Hal. 32)
e.        Sudut pandang/point of view
Sudut pandang orang ke-3, pengarang menggunakan kata ganti orang ketiga; seperti dia, ia, atau nama tokoh.
“Sayangnya Sie tidak sekolah, tidak berpendidikan. Satu-satunya keahlian dia adalah membuat baju pesanan yang dipelajarinya sendiri, itupun untuk membantu beban orang-tuanya.” (Hal. 21)
f.         Amanat
Kita harus mempunyai sifat menghargai perjuangan orang lain, entah perjuangan kecil ataupun besar. Karena kita tidak akan pernah tahu, bisa saja di hari esok kita membutuhkannya.
5.     Unsur Ekstrinsik
a. Sosial: Keseharian Wong Lan yang suka menghambur-hamburkan uang untuk berfoya-foya dan berjudi, dan sikapnya yang tidak menghargai Sie-Sie sebagai sorang istri.
b. Budaya: Di Singkawang, menjadi istri belian sudah menjadi hal yang biasa. Orang luar Singkawang akan datang untuk membeli istri yang diinginkannya.
c. Agama: Wong Lan menikah dengan Sie-Sie hanya untuk mendapatkan warisan dari mendiang orang tuanya. Ia memperlakukan istrinya seperti budak. Disiksa lahir-batin dan dicaci. Jelas sekali, pernikah dengan tujuan seperti ini dilarang agama.

Selasa, 14 November 2017

“Ia”

            Ia adalah orang yang ada saat kita butuh ataupun tidak. Terkadang ia juga menyebalkan, membuat kita sakit hati dan berpikir bahwa ia bukan orang baik. Oh, atau bahkan menyesal telah bergabung di kehidupannya; ikut campur dalam masalahnya, ikut merasakan senang dan sedihnya, bahkan kita sendiri bisa saja ikut masuk dalam masalah yang ia hadapi.
          Memang tidak mudah untuk menjauh darinya. Apalagi saat posisi kita benar-benar membutuhkannya. Terkadang kita juga merasakan kecanggungan saat akan meminta sesuatu padanya. Padahal bisa dikatakan kita sudah dekat dengannya. Sangat dekat.
          Kalian tahu, saat yang paling menyebalkan yang menimpa hubungan kita dengannya? Pertengkaran. Ya, bisa karena hal kecil yang benar-benar tidak penting lalu lama kelamaan bermetamorfosis menjadi sesuatu yang sangat menakutkan. Biasanya sesuatu itu menjadikan kita punya rasa takut kehilangan yang teramat. Penyesalan? Tentunya ada, tapi ketika petengkaran tersebut sudah selesai.
          Pertengkaran antara kita dengannya bisa saja karena salah satu dari kita, atau kedua-duanya sudah memasuki zona egois. Atau bisa jadi karena salah satu dari kita sedang ada masalah intern. Jadi apapun yang menyangkut dirinya dibawa masuk ke hati, sehingga menimbulkan emosi yang dalam hitungan detik mampu mengubahnya menjadi orang yang kehilangan akal.
          Mungkin bisa juga karena kesalahpahaman. Contohnya berawal dari sikap salah satu diantara kita menjadi cuek, dingin, bahkan masa bodo. Setelah itu salah satunya berpikir bahwa ia sudah tidak dibutuhkan lagi, ia merasa dirinya tidak dianggap. Sedangkan yang cuek terlanjur masuk dalam zona cueknya; menikmati dunianya sendiri, masa bodo dengan lingkungan sekitar, sikapnya berubah sedingin es batu, sampai-sampai ia sendiri tidak menyadari bahwa mereka sudah jauh. Padahal mereka masih berada di lingkungan yang sama.
          Keadaan dimana kita tidak saling bicara adalah pembuat sakit hati yang paling banyak. Disini dibutuhkan kejelasan untuk membicarakan kenapa kita bisa memasuki keadaan tersebut. Padahal awalnya kita selalu bersama. Apapun yang kita lakukan. Tiba-tiba saling diam adalah keadaan yang benar-benar menyiksa. Membuat kita canggung, gengsi, meski awalnya baik-baik saja. Keadaan bisa berubah seiring berjalannya waktu dan bagaimana kita bersikap dalam waktu tersebut. Untuk itu dibutuhkan sikap saling terbuka satu sama lain. Jika memang belum sanggup menerima konsekuensinya, lebih baik kita tidak masuk dalam kehidupannya dari awal.
          Bukankah kita akan tetap saling membutuhkan walaupun sudah menua, Teman?
         

Jumat, 18 Agustus 2017

Tirai Pertemanan

Semua pasti pernah merasakan “sesuatu” yang berbeda dengan teman lawan jenis. Bahkan setelah bertahun-tahun lamanya. Persahabatan atau pertemanan antara laki-laki dan perempuan tidak murni hanya sebatas teman. Salah satu dari mereka pasti ada yang memiliki perasaan berbeda.

Perasaan itu kini sepertinya mulai merambat ke hatiku. Apalagi menurutku dia benar-benar seorang pria. Dia mungkin terlihat nakal, tapi tertutup karena ketampanannya. Ku akui aku pernah merasakan guncangan saat pertama kali bertemu dengannya. Di suatu tempat. Dan kini aku dan dia berada di tempat itu lagi.

Aku masih terlalu takut untuk memastikan perasaan ini, karna suatu hari aku takut jika kita tidak sedekat ini lagi. Aku ingin mencintainya dalam diam saja, biarkan hanya sepihak. Karna lebih nyaman seperti ini. Lebih mudah mengadu rindu pada Yang Maha Kuasa. Lebih mudah melihatnya dari jarak berapapun.

Tapi, kenapa harus di penghujung masa SMA? Kenapa tidak dari awal atau pertengahan saja? Ya, karena kita punya seseorang masing-masing saat itu. Karna kita belum saling melihat. Jadi sekarang kalian sudah saling melihat? Belum, kurasa hanya aku yang mulai melihatnya. Dia mungkin belum merasakannya. Atau sebenarnya dia sedang bersembunyi, sama seperti aku.

Setiap berada di dekatnya, aku mencoba mengekang hatiku sendiri agar tidak terlalu histeris. Agar dia tidak curiga. Agar dia tidak bisa merasakannya. Jangan tanya bagaimana aku melakukannya. Sulit. Sangat. Dengan pangkat teman yang kita jalani saat ini, berkali-kali membuatku tersadar bahwa perasaanku ini sebenarnya terlarang.


Dia pernah memberikan tatapan yang teduh dan menenangkan padaku. Tapi aku berusaha untuk tidak memasukkannya dalam kategori “tertarik”. Sebesar apapun perasaanku padanya, sesering apapun aku melihatnya, sedekat apapun kita, aku belum siap untuk membuka tirai pertemanan ini. Sangat. Biarkan aku sementara seperti ini. Ini mungkin cara terakhirku untuk tetap melihatnya.