Selasa, 14 November 2017

“Ia”

            Ia adalah orang yang ada saat kita butuh ataupun tidak. Terkadang ia juga menyebalkan, membuat kita sakit hati dan berpikir bahwa ia bukan orang baik. Oh, atau bahkan menyesal telah bergabung di kehidupannya; ikut campur dalam masalahnya, ikut merasakan senang dan sedihnya, bahkan kita sendiri bisa saja ikut masuk dalam masalah yang ia hadapi.
          Memang tidak mudah untuk menjauh darinya. Apalagi saat posisi kita benar-benar membutuhkannya. Terkadang kita juga merasakan kecanggungan saat akan meminta sesuatu padanya. Padahal bisa dikatakan kita sudah dekat dengannya. Sangat dekat.
          Kalian tahu, saat yang paling menyebalkan yang menimpa hubungan kita dengannya? Pertengkaran. Ya, bisa karena hal kecil yang benar-benar tidak penting lalu lama kelamaan bermetamorfosis menjadi sesuatu yang sangat menakutkan. Biasanya sesuatu itu menjadikan kita punya rasa takut kehilangan yang teramat. Penyesalan? Tentunya ada, tapi ketika petengkaran tersebut sudah selesai.
          Pertengkaran antara kita dengannya bisa saja karena salah satu dari kita, atau kedua-duanya sudah memasuki zona egois. Atau bisa jadi karena salah satu dari kita sedang ada masalah intern. Jadi apapun yang menyangkut dirinya dibawa masuk ke hati, sehingga menimbulkan emosi yang dalam hitungan detik mampu mengubahnya menjadi orang yang kehilangan akal.
          Mungkin bisa juga karena kesalahpahaman. Contohnya berawal dari sikap salah satu diantara kita menjadi cuek, dingin, bahkan masa bodo. Setelah itu salah satunya berpikir bahwa ia sudah tidak dibutuhkan lagi, ia merasa dirinya tidak dianggap. Sedangkan yang cuek terlanjur masuk dalam zona cueknya; menikmati dunianya sendiri, masa bodo dengan lingkungan sekitar, sikapnya berubah sedingin es batu, sampai-sampai ia sendiri tidak menyadari bahwa mereka sudah jauh. Padahal mereka masih berada di lingkungan yang sama.
          Keadaan dimana kita tidak saling bicara adalah pembuat sakit hati yang paling banyak. Disini dibutuhkan kejelasan untuk membicarakan kenapa kita bisa memasuki keadaan tersebut. Padahal awalnya kita selalu bersama. Apapun yang kita lakukan. Tiba-tiba saling diam adalah keadaan yang benar-benar menyiksa. Membuat kita canggung, gengsi, meski awalnya baik-baik saja. Keadaan bisa berubah seiring berjalannya waktu dan bagaimana kita bersikap dalam waktu tersebut. Untuk itu dibutuhkan sikap saling terbuka satu sama lain. Jika memang belum sanggup menerima konsekuensinya, lebih baik kita tidak masuk dalam kehidupannya dari awal.
          Bukankah kita akan tetap saling membutuhkan walaupun sudah menua, Teman?
         

Jumat, 18 Agustus 2017

Tirai Pertemanan

Semua pasti pernah merasakan “sesuatu” yang berbeda dengan teman lawan jenis. Bahkan setelah bertahun-tahun lamanya. Persahabatan atau pertemanan antara laki-laki dan perempuan tidak murni hanya sebatas teman. Salah satu dari mereka pasti ada yang memiliki perasaan berbeda.

Perasaan itu kini sepertinya mulai merambat ke hatiku. Apalagi menurutku dia benar-benar seorang pria. Dia mungkin terlihat nakal, tapi tertutup karena ketampanannya. Ku akui aku pernah merasakan guncangan saat pertama kali bertemu dengannya. Di suatu tempat. Dan kini aku dan dia berada di tempat itu lagi.

Aku masih terlalu takut untuk memastikan perasaan ini, karna suatu hari aku takut jika kita tidak sedekat ini lagi. Aku ingin mencintainya dalam diam saja, biarkan hanya sepihak. Karna lebih nyaman seperti ini. Lebih mudah mengadu rindu pada Yang Maha Kuasa. Lebih mudah melihatnya dari jarak berapapun.

Tapi, kenapa harus di penghujung masa SMA? Kenapa tidak dari awal atau pertengahan saja? Ya, karena kita punya seseorang masing-masing saat itu. Karna kita belum saling melihat. Jadi sekarang kalian sudah saling melihat? Belum, kurasa hanya aku yang mulai melihatnya. Dia mungkin belum merasakannya. Atau sebenarnya dia sedang bersembunyi, sama seperti aku.

Setiap berada di dekatnya, aku mencoba mengekang hatiku sendiri agar tidak terlalu histeris. Agar dia tidak curiga. Agar dia tidak bisa merasakannya. Jangan tanya bagaimana aku melakukannya. Sulit. Sangat. Dengan pangkat teman yang kita jalani saat ini, berkali-kali membuatku tersadar bahwa perasaanku ini sebenarnya terlarang.


Dia pernah memberikan tatapan yang teduh dan menenangkan padaku. Tapi aku berusaha untuk tidak memasukkannya dalam kategori “tertarik”. Sebesar apapun perasaanku padanya, sesering apapun aku melihatnya, sedekat apapun kita, aku belum siap untuk membuka tirai pertemanan ini. Sangat. Biarkan aku sementara seperti ini. Ini mungkin cara terakhirku untuk tetap melihatnya.